-
Paradigma Sekolah Bahagia
January 4, 2019
Kolom Pendidikan, PERPUSTAKAAN
-
Paradigma Sekolah Bahagia
Menatap anak-anak tersenyum ceria di sekolah adalah pemandangan yang sangat menyenangkan orang tua. Pada saat pagi hari, anak-anak telah bersiap rapi dengan pakaian seragam sekolah, berwajah riang ceria, juga menjadi suasana yang sangat menyenangkan bagi orang tua. Orang tua pun terasa ringan melambaikan tangan untuk berpisah dengan anaknya dihari itu. Pulang sekolah, pemandangan yang sama yakni anak berwajah ceria dan riang gembira dijumpai oleh orang tua. Inilah yang mungkin merupakan gambaran sederhana dari sekolah bahagia.
Terma Sekolah Bahagia saat ini menjadi topik pembahasan yang cukup hangat di dunia pendidikan. Beberapa opini telah muncul di media massa, diantaranya opini Khairil Azhar pada Media Indonesia, Senin 02 April 2018 yang berjudul Sekolah Bahagia Khairil Azhar. Khairil Azhar memberikan pernyataan pembuka sebagai berikut, “Arus besar pendidikan kita bukan digerakkan cita rasa kebahagiaan. Sebaliknya, pendidikan kita, bahkan sejak taman bermain, lebih digerakkan harapan akan kebahagiaan yang tak wajib dinikmati kini. Sekolah adalah ‘kawah Candradimuka’ yang menggelegak, getir, dan kalau perlu mesti menelan korban. Kebahagiaan adalah urusan nanti.” Pernyataan Azhar ini membidik situasi pendidikan, khususnya di Indonesia, yang masih berparadigma bahwa sekolah adalah sarana atau tempat menempa diri menuju bahagia.
Era Abad Dua Satu saat ini nampaknya terjadi perubahan paradigma dalam dunia pendidikan yakni pendidikan seharusnya prosesnya bahagia dengan hasil bahagia pula. Oleh karena itu Sekolah Bahagia harus menjadi paradigma baru dalam lembaga pendidikan Indonesia. Madrasah dibawah naungan YPI Sultan Agung Kebumen harus menangkap dan mempelajari paradigma sekolah bahagia ini.
Menurut Khairil, Sekolah Bahagia merujuk kepada buku UNESCO tahun 2016 berjudul Happy Schools: A Framework for Learner Well-being in the Asia-Pacific. Buku ini merupakan laporan dari hasil survey di negara kawasan Asia Pasifik dengan melibatkan 654 Responden. Berikut ringkasan lima ukuran sekolah bahagia.
Pertama, Sekolah Bahagia bercirikan kentalnya ikatan emosional antar warga sekolah. Kentalnya hubungan emosional ini dapat dirasakan dari suasana pertemanan atau hubungan antara guru dan murid. Suasana kesalingpercayaan, saling menghormati dan menghargai, keterterimaan tanpa melihat latar belakang siswa, dan kesetaraan perlakuan menjadi suasana yang sangat terasa didalam lingkungan madrasah. Sekolah tidak bahagia memiliki suasana sebaliknya, seperti kekerasan baik fisik maupun verbal, tidak adanya saling hormat menghormati.
Kedua, dalam bahasa Khairil, sekolah bahagia berlangit kehangatan dan berfasilitas memadai. Faktor keamanan dan kenyamanan psikologis, lingkungan hijau, area bermain dan olahraga adalah faktor yang menunjang sekolah bahagia ini. Ada satu faktor lagi dalam faktor item dua ini yakni tersedianya makanan yang sehat dan enak. Bisa diterapkan dalam bentuk makan siang bersama, atau suasana jajan bersama, atau bekerjasama dengan orang tua untuk menyediakan makan siang.
Ketiga Sekolah bahagia bercirikan beragamnya kegiatan kreatif dan praktis, bukan hanya hasil ujian dan kompetisi. Sekolah bahagia menjamin hak dan kesempatan untuk unjuk pikiran dan diri serta keleluasaan untuk mencoba-coba dalam ilmu pengetahuan. Sekolah bahagia tidak ada suasana stres, saling ngenyek (mengolok-olok) kesalahan dalam uji coba pengetahuan, dan ekspresi kreatif.
Keempat, sekolah bahagia berorientasi kerja sama. Dalam survey pada kategori sekolah bahagia, para siswa mengaku bahagia, kolaborasi bukan hanya antarmurid saja, melainkan juga antara guru dan murid. Kegiatan kolaboratif bisa berbentuk penelitian, performa, atau kegiatan kolaboratif lainnya. Sekolah tak bahagia, bukannya kolaborasi, warga sekolah sehari-hari dalam suasana persaingan, ketakpedulian, dan egoisitas pengetahuan.
Kelima, Sekolah bahagia bertumpu kepada faktor guru, yakni guru-guru yang memiliki kebaikan hati, semangat mengjar, dan mampu bersikap adil. Juga, guru dalam sekolah bahagia senantiasa melayani dan menginspirasi, kreatif, dan menjadi teladan kebahagiaan itu sendiri. Sebaliknya Guru berwajah galak, kaku, tidak ramah, cuek, tidak tulus, dan mengajar dengan cara kuno menjadi faktor utama sekolah tidak bahagia.
Demikian cuplikan paradigma sekolah bahagia dari sebuah opini, membaca buku Happy Schools: A Framework for Learner Well-being in the Asia-Pacific secara lengkap akan sangat menarik.
Salam Sekolah Bahagia…Salah Madrasah yang menebar kebahagiaan.
M. Wakhid Hidayat
Pengurus YPI Sultan Agung Kebumen
Social Profiles